Jumat, November 16, 2007

Perlakuan Terhadap Harta Wakaf

I. Ibdal dan Istibdal (Penggantian Barang Wakaf)

Ibdal: Menjual barang wakaf untuk membeli barang lain sebagai gantinya (penukaran).

Istibdal: Menjadikan barang lain sebagai pengganti barang wakaf asli yang telah dijual (penggantian).


A. Mazhab Hanafiyah

1. Hukumnya boleh, oleh siapapun, baik wakif sendiri maupun orang lain maupun hakim tanpa menilik jenis barang yang diwakafkan baik itu berupa tanah yang dihuni (terurus), tidak dihuni (tidak terurus), bergerak (manqul) maupun tidak bergerak (iqar).

Alasan: -Maslahat

-Toleran dan keleluasaan.

2. Klasifikasi ibdal dan istibdal sesuai dengan kehendak wakif:[1]

  • Ibdal disyaratkan oleh wakif.
  • Ibdal tidak disyaratkan oleh wakif, sedangkan kondisi mauquf tidak difungsikan dan dimanfaatkan lagi atau hasilnya tidak menutupi biaya.
  • Ibdal tidak disyaratkan oleh wakif, keadaan mauquf-pun masih terurus dan berfungsi, tetapi ada barang pengganti yang dalam kondisi menjanjikan atau menguntungkan.


1. Wakif mensyaratkan istibdal (penggantian) terhadap dirinya sendiri atau beserta orang lain.

Contoh, wakif berkata: “Tanahku ini aku wakafkan dengan syarat bahwa di kemudian hari aku bisa menggantinya dengan barang wakaf yang lain, atau aku berhak menjualnya dan membeli barang lain sebagai gantinya.” Pensyaratan tersebut dapat dibenarkan, dan berlaku khusus untuk dirinya sendiri, tidak untuk orang lain. Kecuali apabila ia memberlakukan syarat itu bagi orang lain tersebut.

Ada beberapa pendapat yang difatwakan para ulama mengenai sah tidaknya wakaf dan syaratnya:

  • Imam Abu Yusuf dan Hilal menyatakan bahwa wakaf dan syaratnya sama-sama sah.[2]
  • Imam Muhammad bin Hasan menyatakan bahwa wakafnya sah, tetapi syaratnya batal.
  • Beberapa pengikut Hanafi menyatakan bahwa wakaf dan syaratnya sama-sama batal.

Syekh Kamal bin Hamman, dengan meminjam statemen Muhammad bin Hasan menyatakan: “Apabila seseorang dalam wakafnya mengemukakan sebuah syarat yang menyatakan bahwa ia diperbolehkan mengganti tanah wakafnya dengan tanah lain,atau berhak menjulnya dan menggantinya, maka syarat itu dapat diterima dalam pandangan Abu Yusuf, Hilal dan Al-Khashshaf dengan argumen istihsan.”

Oleh karena itu tidak seorang pun berhak mengganti barang tersebut tanpa izin si wakif.

Qadhikhan sependapat dengan Hilal dan Abu Yusuf, sebab syarat dari si wakif tidak sampai membatalkan wakaf. Jika tanah wakaf tidak dapat ditanami maka mencari penggantinya yang lebih baik adalah sah.

Imam Sarkhasi menjelaskan alasan pendapat Muhammad bin Hasan yaitu bahwa syarat istibdal (penggantian) tersebut sama sekali tidak berpengaruh terhadap keberadaan wakaf dalam koridor yang ditentukan karena eksistensi syarat tersebut tidak menghilangkan makna ‘untuk selamanya’ yang disrikan dari tujuan wakaf. Dan istibdal tetap dihukumi tidak sah.

Al-Anshari meyakini keabsahan syarat dalam wakaf. Tapi wakif tetap tidak berhak menjualnya tanpa izin hakim.

Kesimpulan:

Pendapat yang paling dapat dipertanggungjawabkan ialah pendapat Abu Yusuf , Hilal dan al-Khashshaf yang menyatakan bahwa baik wakaf maupun syaratnya sama-sama sah. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Qadhihan, Ibn Abidin dan Ibn Najim. Sudut pandang ulama yang mendasari pendapat itu adalah berhubung syarat istibdal ini tidak meniadakan keabadian dan sifat kekekalan wakaf, maka syarat tersebut dianggap tidak pernah ada.

Selama manfaat barang wakaf masih bisa dipergunakan dan dibelanjakan sesuai tujuan, maka selama itu pula wakaf tetap berlaku dan memiliki sifat kekekalannya. Inti dari wakaf adalah manfaat yang terus-menerus.

Ada beberapa penjelasan para ulama Hanafiyah tentang beberapa perkara yang masih berkaitan dengan istibdal, antara lain:

  • Setelah penggantian yang pertama, wakif tidak diperbolehkan mengganti barang wakaf untuk yang kedua kalinya, karena masa berlaku syarat isdtibdal yang ditentukannya sudah habis. Kecuali jika ia menyatakan bahwa haknya melakukan istibdal bisa dilakukan berulang-ulang.
  • Jika wakif berkata: “Saya mewakafkan tanah ini dengan syarat di suatu hari saya berhak untuk menjual tanah ini guna membeli tanah yang baru lagi,” kemudian ia tidak berkata apa-apa lagi, maka menurut qiyas wakafnya dianggap batal. Hal ini disebabkan wakif tidak tidak menyatakan maksud hatinya untuk menjadikantanah kedua sebagai pengganti wakaf tanah yang pertama. Berbeda dengan konsep qiyas, istihsan menganggap praktik ini boleh dan sah dengan dasar bahwa selama tanah yang pertama dikhususkan untuk wakaf. Sehingga harga yang didapatkan dari penjualannya pun seolah-olah menggantikan kedudukannya sebagai wakaf. Jika uang tersebut dibelikan tanah lagi, maka otomatis menjadi tanah wakaf sesuai syarat-syarat pada wakaf tanah yang pertama.
  • Jika wakif mensyaratkan penggantian dengan tanah, maka ia tidak berhak menggantinya dengan rumah. Demikian juga sebaliknya, karena ia tidak memiliki hak penggantian syarat. Jika tidak menentukan dengan apa penggantinya, maka bebas dengan harta bergerak apapun. Jika ia membatasinya dengan suatu wilayah, maka tidak boleh keluar dari wilayah tersebut.
  • Jika wakif mensyaratkan penggantian untuk orang lain beserta dirinya, maka wakif berhak melakukan penggantian itu sendirian. Tetapi, tidak demikian bagi orang lain yang ditentukannya tersebut, karena wakiflah yang yang memasukannya dalam syarat itu.
  • Jika ia mensyaratkan penggantian dalam wakaf, lalu ia menjualnya dan menghibahkan harganya, maka hibah tersebut sah, tapi ia harus mengganti harganya. Ini menurut pendapat Abu Hanifah. Sedangkan Abu Yusuf menyatakan bahwa hibah tersebut tidak sah.
  • Jika wakif mensyaratkan hak istibdal bagi dirinya, lalu ia menjual tanah wakaf, namun tanah itu kembali kepadanya karena adanya faskh (pembatalan/penarikan kembali), maka ia boleh menjualnya lagi untuk kedua kalinya, karena penjualan pertama dianggap tidak pernah ada. Akan tetapi, apabila kembalinya tanah itu karena adanya akad baru, maka ia tidak boleh menjualnya. Sebab hal itu dianggap sebagai pembelian baru dan tanahnya kembali menjadi tanah wakaf.
  • Jika seseorang berwakaf dan mensyaratkan untuk istibdal kepada dirinya, maka hanya ia sendirilah yang berhak melakukan istibdal. Bila ia berwasiat kepada orang lain bahwa ia punya hak istibdal, maka orang tersebut tidak berhak melakukan istibdal, kecuali bila si wakif mensyaratkannya ketika masih hidup.
  • Jika dalam permulaan akadnya wakif berkata: “Si Fulan berhak menjual barang wakaf dan atau menggantinya,” namun di akhir akad ia berkata: “Si Fulan tidak berhak menjual barang wakaf,” maka Fulan tidak boleh menjualnya, sebab wakif telah menarik kembali perkataan pertama dan membatalkannya dengan perkataan yang kedua, yaitu bahwa Fulanb tidak berhak menjualnya.

2. Wakif diam dan tidak mensyaratkan istibdal, sedangkan barang wakaf itu lama-kelamaan menjadi kurang produktif, bahkan hasilnya tidak dapat menutup biaya pengelolaannya.

Mayoritas ulama Hanafiyah memperbolehkan praktik istibdal (penggantian). Ibn Abidin mengatakan: “Menurut pendapat yang paling benar, istibdal seperti itu dapat disahkan atas kebijakan hakim dengan adanya maslahat yang terkandung di dalamnya.”

Qadhikhan mengatakan: “Apabila wakif tidak mensyaratkan istibdal kepada siapapun, maka yang berhak melakukan mengganti barang wakaf hanyalah hakim[3] dengan berpijak pada kemaslahatan bersama.”

Pengarang kitab Al-Dzakhirah menyatakan: “Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, beliau mewakafkan rumah untuk Hasan dan Husein. Lalu ketika berangkat menuju Shiffin beliau berkata: ‘Andai rumah mereka itu dijual dan hasilnya dibagikan, tentunya akan lebih bermanfaat.’”

Hadist (atsar) inilah yang menjadi sandaran hukum mayoritas fuqaha Hanafiyah. Meski begitu, masih ada sebagian ulama yang berpendapat lain dan melarang penggantian barang wakaf selama tidak disyaratkan oleh wakif dalam akadnya, seperti Hilal, Al-Nasafi dan Al-Sarkhasi. Syekh Imam Zahiruddin dan Qadhikhan pernah berfatwa memperbolehkannya, namun fatwa itu dicabut kembali.

3. Wakif tidak menyinggung syarat istibdal, sementara kondisi barang masih dapat dimanfaatkan, namun di sisi lain ada barang yang lebih baik dan menjanjikan.

Ibn Abidin mensinyalir adanya silang pendapat di kalangan Hanafiyah. Dalam hal ini –pendapat yang paling sahih- barang wakaf tidak boleh diganti. Ibn Najm menjelaskan, perbedaan pendapat dalam kategori ini hanya menyangkut barang wakaf yang berbentuk tanah, yaitu apabila tanah tersebut tidak dapat dimanfaatkan lagi. Hukum ini tidak berlaku pada barang wakaf berbrntuk rumah yang salah satu bagian sisinya telah rusak, sedangkan sisi lainnya masih dapat dimanfaatkan. Dalam kondisi ini, semua ulama menfatwakan pelarangan istibdal.

Wakif berhak mensyaratkan atau tidak mensyaratkan istibdal. Jika wakif mensyaratkan istibdal sebagai langkah antisipasi rusak atau menurunnya produktivitas barang wakaf, maka semua ulama menetapkan konsensus tentang sahnya istibdal.

Konsensus ini tidak berlaku apabila ternyata syarat istibdal yang diucapkan wakif berlaku jika seandainya barang yang diwakafkan masih dalam keadaan baik. Ini menyalahi aturan karena aturan asal yang wajib kita pegang adalah membiarkan barang wakaf –seperti adanya- tanpa boleh menggantinya, kecuali bila ada yang mengizinkan penggantiannya. Yaitu syarat dan dharurah, sementara dalam hal ini kita tidak menemukan adanya indikasi darurat.

Pendapat Lain

Abu Yusuf berpendapat lain. Beliau menyatakan keabsahan praktik istibdal . alasannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib. Padahal sebenarnya hadits ini menyatakan kebolehan menjual barang wakaf untuk dibagi-bagikan, bukan untuk dibelikan barang baru.

Meski begitu, mayoritas ulama Hanafiyah memperbolehkan istibdal dengan barang yang lebih menguntungkan dengan syarat-syarat keadaan sebagai berikut:

  • Jika wakif mensyaratkannya.
  • Jika orang yang merampas tanah itu ingin menggantinya dengan uang.
  • Jika orang yang merampasnya mengalirkan air ke area tersebut sehingga menjadi genangan seperti danau atau laut, lalu ia memberikan ganti rugiberupa uang.
  • Jika ada orang menghendaki tanah wakaf dan menawar dengan harga yang jauh lebih tinggi (menurut Abu Yusuf).

Hukum Melanggar Syarat Wakif yang Melarang Penggantian Barang Wakaf

Ada dua pendapat:

a. Tidak boleh dilanggar. Intinya, hakim dan orang lain tidak berhak mengganti barang wakaf.[4]

b. Boleh. Intinya hakim boleh menggantinya meskipun wakif melarangnya dengan pertimbangan maslahat dan darurat.[5]

Syarat Penggantian

a. Penjualan tidak mengandung unsur penipuan.

b. Tidak dijual kepada orang yang yang ditolak persaksiannya (fasik) dan atau orang yang memberinya (nazir) utang.

c. Barang pengganti harus berupa barang yang tidak bergerak (iqar).

d. Penggantian rumah wakaf dengan rumah lainnya hanya boleh dalam satu wilayah, dan kondisi rumah pengganti harus lebih baik.[6]


1 Bersambung.....

[1] Pendapat senada juga dikemukakan oleh Ibn Abidin.

[2] Alasannya adalah Istihsan

[3] Senada dengannya yaitu pendapat Hisyam dalam Al-Muntaqa

[4] Seperti pendapat Hilal.

[5] Seperti Abu Yusuf dan ulama Hanafiyah lain.

[6] Syarat ini dikemukakan oleh Ibn Najm.

Tidak ada komentar: