Senin, November 12, 2007

Sejarah Perkembangan Wakaf di Dunia Islam

  1. Pendahuluan

Wakaf, sebagaimana halnya zakat, adalah termasuk harta/asset ummat muslim yang harus dijaga dan dikembangkan demi kepentingan ummat muslim itu sendiri. Dalam perjalanannya, wakaf pada dunia Islam mengalami berbagai macam kondisi -pasang dan surut- terus mewarnai perkembangannya dan tampaknya hal seperti itu akan terus terjadi sepanjang masa.

  1. Perkembangan Wakaf pada Masa Generasi Sahabat

Wakaf adalah sedekah yang sebenarnya lebih dikenal di masyarakat sebagai sedekah jariyah. Spesifikasi menahan pokoknya dan memberikan manfaatnya bermakna agar pahala itu mengalir terus-menerus.

Adapun kapan awal diberlakukannya wakaf, generasi sahabat sendiri berbeda pendapat. Kaum Muhajirin berpendapat, wakaf dimulai zaman Umar bin Khathab dan dimulai oleh beliau sendiri. Sementara Kaum Anshar menganggap bahwa wakaf dimulai oleh Rasulullah Saw.

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, para ulama sependapat bahwa wakaf adalah salah satu bentuk sedekah dalam Islam.

Wakaf mempunyai tujuan mulia yaitu dengan menyisihkan sebagian harta untuk taqarub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah).

Contoh terkenal berkenaan hal ini:

a. Ketika Rasulullah Saw. Bersabda, “Salurkan wakafmu itu kepada keluargamu, yaitu Hasan bin Tsabit dan Ubay bin Ka’ab.” Maka Abu Thalhah langsung melakukannya.

b. Umar bin Khatab ketika berwakaf, dia mengatakan bahwa apa yang diwakafkan untuk orang-orang fakir, para karib kerabat, para budak, untuk kebaikan di jalan Allah, serta untuk para tamu dan orang-orang yang tengah melakukan perjalanan. Tidak ada salahnya bagi yang mengelola/nazhir mengambil sebagian dari keuntungan asal masih dalam batas kewajaran (ma’ruf) atau memberi makan kepada yang lain yang tidak mampu. Hal ini Ali r.a. juga melakukan sebagaimana kebijakan Umar bin Khathab.

c. Zubair ketika mewakafkan rumahnya, dia mengatakan bahwa bukan suatu kerugian memberikan kepada pelayan anak perempuannya, dan tidak ada yang merugikan darinya.

Dari contoh-contoh tersebut dapat disimpulkan:

a. Wakaf sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw. dan para sahabat,

b. Wakaf boleh diberikan kepada kaum kerabat ataupun orang lain untuk tujuan mulia/kebaikan,

c. Wakaf ada yang mengelola dan boleh mengambil sebagaian keuntungan secara ma’ruf (batas kewajaran).

  1. Perkembangan Wakaf pada Masa Generesi Sesudah Sahabat

Dalam buku Hukum Wakaf karya Dr. Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi tidak menjelaskan yang dimaksud generasi sesudahnya itu apakah tabi’in, tabi’it tabi’in, atau sesudahnya lagi.

Permasalahan yang muncul dalam era ini adalah tujuan mulia wakaf generasi sahabat dibelokkan menjadi tujuan-tujuan tertentu yang tidak baik walaupun secara hukum wakaf sendiri tidak menyalahi.

Sebagai contoh, orang-orang pada masa itu berwakaf dengan tujuan untuk menghalang-halangi sebagian ahli waris mendapatkan haknya. Diperparah lagi adanya diskriminasi terhadap anak-anak perempuan, karena ada sebagian orang yang berwakaf hanya untuk anak laki-lakinya, atau mewakafkan sebagian besar hartanya agar harta waris tidak jatuh ke anak-anak perempuannya, minimal jatahnya berkurang.

Dalam kitab Al-Mudawwanah dikatakan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz sebelum meninggal dunia pernah berkeinginan untuk mengembalikan sedekah/wakaf orang-orang yang mengabaikan anak perempuan mereka.

Imam Syaukani berkata, “Barang siapa yang mewakafkan barang yang dapat membahayakan ahli waris, maka wakafnya batal.” Shadiq Hasan Khan berkomentar tentang hal ini, “Kesimpulannya, bahwa wakaf yang bertujuan memutuskan apa yang Allah perintahkan untuk menyambungnya serta bertentangan dengan ajaran-ajaran Allah SWT., maka wakafnya batal. Sama seperti orang yang mewakafkan sesuatu kepada anak laki-lakinya, tanpa menyertakan anak perempuannya, dan lain sebagainya. Sebab, wakaf seperti ini tidak merealisasikan takarub kepada Allah, akan tetapi bertujuan menentang hukum-hukum Allah yang disyariatkan kepada hamba-hamba-Nya. Wakaf seperti ini menjadi wasilah (sarana) perwujudan tujuan setan.”

Kesimpulan dari masa ini:

a. Ada penyimpangan tujuan wakaf dari menyisihkan sebagian harta untuk mendekatkan diri kepada Allah menjadi tujuan-tujuan lain yang tidak sesuai syariat, seperti menghalang-halangi seseorang untuk mendapatkan hak waris.

b. Ada usaha baik dari penguasa/khalifah maupun ulama untuk meluruskan kembali kepada tujuan wakaf sebagimana generasi sahabat yang mulia.

  1. Zaman Bani Umayah dan Abbasiyah

Wakaf pada zaman ini mengalami masa perkembangan yang luar biasa. Penyalurannya tidak hanya terbatas kepada kalangan fakir miskin, akan tetapi telah merambah berbagai hal, seperti pendirian srana ibadah, tempat-tempat pengungsian, perpustakaan dan sarana pendidikan, pemberian beasiswa untuk para pelajar, tenaga pengajar, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Dampak dari makin meluasnya peranan wakaf dan antusiasme masyarakat kala itu muncullah beberapa organ pendukung:

a. Didirikannya lembaga khusus bidang wakaf,

b. Intervensi pemerintah dalam pengembangan,

c. Pengawasan oleh para hakim.

  1. Zaman Dinasti Usmaniyah

Pada zaman ini yang menonjol adalah pengawas pengelolaan wakaf. Beberapa yang dapat dicatat:

a. Pengawasan wakaf dilaksanakan oleh qadhi (hakim),

b. Jika wakif telah menunjuk nazhir/pengelola, hakim cukup mengawasi pihak yang ditunjuk,

c. Pertama kali dilakukan pencatatan dan pembukuan wakaf.

Qadhi yang terkenal pada masa ini adalah Taubah bin Namr bin Haumal al-Hadrami. Beliaulah orang pertama yang melakukan pencatatan dan pembukuan wakaf secara rinci. Perkataan beliau yang terkenal, “Saya tidak mempunyai pandangan tentang sedekah (wakaf) ini, melainkan untuk diserahkan kepada golongan fakir miskin, dan seyogyanya tetap difokuskan kepada mereka, demi menjaganya dari kehancuran atau diwariskan secara turun-temurun.”

  1. Negara Irak

Praktik wakaf di Irak lebih banyak mengadopsi apa yang telah dilakukan pada masa Dinasti Usmaniyah. Kemajuan dalam bidang wakaf di Irak:

a. Dibuatnya Undang-Undang Wakaf.

Yang terkenal adalah UU No.64 tahun 1966, yang isinya:

Pertama, wakaf yang baik (al-waqfu al-shalih), yaitu mewakafkan barang yang dimilikinya kepada pihak yang menerima (maukuf) tanpa dipersyaratkan apa pun.

Kedua, wakaf yang tidak baik (al-waqfu ghairu al-shalih), yaitu wakaf yang hak pendistribusian dan penggarapan tanahnya dikhususkan kepada pihak tertentu saja.

Ketiga, wakaf yang dibatasi (al-waqfu al-mdhbuth), yang terdiri dari:

- Wakaf shalih yang tidak disyaratkan adanya tauliyah (hak penguasaan) kepada orang tertentu, atau yang terputus atau habis hak penguasaannya.

- Wakaf ghairu shalih.

- Wakaf yang pengelolaannya berakhir dalam 15 tahun, baik ditentukan oleh pihak kementrian wakaf, lembaga-lembaga wakaf, atau berdasarkan catatan wakaf.

- Wakaf haramain, yaitu wakaf yang ditentukan adanya syarat-syarat tertentu.

- Pihak atau lembaga sosial menerima wakaf sesuai perundang-undangan yang berlaku.

Ada lagi yang disebut wakaf mulhaq, yaitu wakaf yang dikelola oleh seseorang dan disyaratkan agar keuntungan (hasil) wakaf atau sebagiannya diserahkan kepada lembaga-lembaga agama dan sosial.

Perdebatan para ulama terjadi pada jenis wakaf dzurri (keluarga), yaitu wakaf yang dikelola oleh seseorang dan disyaratkan agar keuntungannya diserahkan kepada anak cucu wakif/keluarganya.

b. Dibentuknya kementrian wakaf yang bertugas mengembangkan wakaf agar memiliki manfaat yang maksimal bagi kemaslahatan umat, juga berfungsi pengawasan dalam hal-hal tertentu.

  1. Negara Mesir dan Negara-Negara Timur Tengah lainnya

Pada umumnya negara-negara Timur Tengah dalam bidang wakaf merupakan yang terdepan di dunia Islam. Terutama Mesir, Universitas Al-Azhar sebagai contoh konkrit kemajuan bidang wakaf dari masa lampau hingga saat ini.

Kemajuan yang dialami negara-negara Timur Tengah khususnya Mesir sebenarnya berawal dari perdebatan di kalangan ulama mengenai wakah dzurri/keluarga.

Di Syiria pada tahun 1939 merevisi peraturan-peraturan mengenai wakaf keluarga, antara lain. Pertama, tidak dibolehkan melanggengkan wakaf keluarga tanpa batas waktu dan tidak boleh pula diberikan kepada kelompok yang lebih dari dua tingkat keturunan (cucu). Kedua, dalam wakaf keluarga, wakif dibolehkan menarik kembali wakafnya, sebagaimana ia dibolehkan mengikat wakaf dengan syarat-syarat tertentu. Ketiga, untuk keabsahan wakaf ini, disyaratkan untuk tertulis dalam catatan pertanahan, yang dikeluarkan oleh hakim agama. Keempat, jika terjadi kerusakan atau tidak memungkinkan lagi untuk dibangun, atau hak mustahik tidak dapat terpenuhi, maka wajib wakaf itu. Kelima, mauquf ‘alaih (penerima wakaf) berhak menolak syarat waqif yang semena-mena dengan mebatalkan syarat tersebut.

Peraturan-peraturan yang menjadi landasan perkembangan wakaf di Mesir:

a. Tahun 1925 saat Revolusi Mesir meletus ditemukan bukti dokumen bahwa wakaf keluarga masih menjadi perdebatan, maka pemerintah Mesir mengeluarkan Peraturan No.180 tahun 1952 yang menghapuskan legalitas wakaf kwluarga dan berstatus bebas dan tidak terikat. Pemerintah juga melarang wakaf keluarga jenis baru, sehingga wakaf hanya terbatas pada wakaf umum saja.

b. Peraturan No.547 tahun 1953, yang mengatur mengenai wakaf umum. Pihak yang berwenang mengurusi wakaf ini adalah kementrian wakaf. Selama wakif tidak menyaratkan untuk dirinya, kementrian wakaf berhak menyalurkan wakaf umum kepada pihak mana pun yang tidak ditentukan wakif.

c. Peraturan No.525 tahun 1954, yang mengatur pembagian hasil wakaf. Dalam peraturan ini juga mengatur pengambilalihan wakaf dari tangan individu kepada yang lebih berhak.

d. Ada yang dirasa memberatkan karena jika ada pihak yang tidak mau menyerahkan, maka kementrian wakaf berpedoman pada Peraturan No.18 tahun 1957, yang menetapkan pembagian harta wakaf kepada mustahik, dengan menyerahkan bagian-bagian wakaf tersebut kepada kementrian.

Itulah sekilas sejarah wakaf di kalangan umat Islam sejak zaman Rasullah Saw. sampai saat ini, khususnya di negara-negara Islam Timur Tengah. Untuk di Indonesia dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, menjadi titik awal kebangkitan wakaf di Indonesia. Akan tetapi yang lebih mendasar adalah pemahaman terutama fikih wakaf itu sendiri harus segera di sosialisasikan, mengingat hambatan perkembangan terkadang berakar pada pemahaman fikih itu sendiri. Pendek kata senergi antara pemahaman masyarakat dan lahirnya nazhir-nazhir profesional harus berjalan seiring, sehingga wakaf bisa menjadi salah satu alternatif baru pendorong kemajuan bangsa.

  1. Kesimpulan dan Saran

Perkembangan wakaf sebenarnya sangat tergantung kepada ummat muslim itu sendiri. Kita sebagai genaerasi muda muslim berkewajiban untuk mengembangkan wakaf di masa yang akan datang.

Yuyun Wahyu

Daftar Pustaka:

Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah. 2004. Hukum Wakaf. Bogor: Dompet Dhuafa Republika dan IIMaN.

Tidak ada komentar: